Ngelawat - Ritual Ngusaba Sambah di Desa Tenganan



Tenganan Pageringsingan, sebuah desa Baliaga di Karangsem – Bali. Desa ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi para pelancong yang datang ke Bali. Informasi mengenai desa inipun sangat mudah didapatkan di internet. Aksesibilitasnya pun tidak usah diragukan lagi karena berada di jalur utama Denpasar – Amlapura tepatnya di kawasan pariwisata Candi Dasa.

Jujur, saya sudah berulang kali mengunjungi Desa Tenganan, mulai dari studi tour, tugas kuliah ataupun sekedar jalan – jalan. Namun pada kunjungan saya kali ini ada sesuatu yang berbeda yang saya rasakan. Secara fisik desa ini memang tidak berubah.  Paling penambahannya berupa lahan parkir dan art shop di bagian depan. Tradisi masyarakatnya pun masih tetap sama.  Lalu apa yang berbeda?

Feel atau rasa kagum saya terhadap masyarat Desa Tengananlah yang berubah. Mengunjungi Desa Tenganan pada hari biasa tentu akan berbeda rasanya dibandingkan dengan pada saat hari raya. Pada hari biasa, wisatawan biasa menyaksikan aktivitas warganya seperti membuat tenun atau melukis lontar. Mengamati bangunan yang masih tradisional atau sekedar bercengkrama dengan masyarakat desa. Namun pada hari tertentu seperti pada rangkaian upacara Ngusaba Kapat, tentu akan ada yang berbeda. Upacara Ngusaba Kapat merupakan upacara besar bagi masyarakat Tenganan dengan rangkaian yang cukup panjang. Acara puncak kegiatan ini adalah Mekare-kare atau perang pandan. Upacara ini telah menjadi incaran bagi wisatawan utamanya para photographer.

Selain Mekare-kare yang telah tersohor bahkan telah menjadi event tahunan di Tenganan, rangkaian ritual lainnya ternyata juga tidak kalah menariknya. Salah satunya adalah yang baru saja saya lihat yakni Upacara Ngelawat. Upacara atau ritual ini dilaksanakan pada sore hari 6 hari sebelum hari puncak Ngusaba Sambah. Saat saya tiba di desa ini, terlihat para laki-laki Desa Tenganan dengan pakaian adat mereka tengah berkumpul di Bale Agung. Pada bale di sebelahnya juga telah berkumpul para remaja pria. Rupanya saat itu mereka tengah menunggu wanita Tenganan yang sedang melaksankan upcara di bukit di belakang desa mereka. Sembari menunggu para “daha” (sebutan remaja putri Tenganan) serta ibu mereka, para lelaki inipun melaksanakan beberapa ritual seperti membagikan Tuak yang kemudian ditumpahkan ke tanah, memainkan alat musik Gambang, hingga megibung yang dilakukan oleh para teruna. Mereka juga melaksanakan simbolisasi perang pandan.


Malampun tiba, satu persatu para wanita Tenganan datang dari arah bukit dengan membawa sesajen berupa buah-buahan lengkap dengan jajan. Ada juga sesajen berupa nasi tumpeng dengan ayamnya. Sesajen tersebut kemudian di haturkan pada sebuah pura yang letaknya dekat dengan pintu masuk desa. Secara visual mungkin hal ini mirip dengan apa yang masyarakat Bali lakukan pada umumnya. Namun  apa yang membuatnya berbeda adalah sense dalam ritual tersebut. Tidak ada kesan mewah nan meriah, tidak ada riuh bunyi-bunyian gong ataupun genta. Yang ada adalah kesederhanaan, kesederhanaan berpakaian namun terlihat sangat indah hingga sederhanya arsitektur pura tanpa hiasan yang memberikan kesan autentik.


Semua dilakukan persis sama dengan apa yang dilakukan oleh luluhur mereka. Tradisi yang diwariskan masih dipegang teguh hingga saat ini. Berada di desa Tenganan dengan berbagai aktivitasnya membuat saya merasa masuk ke dalam lukisan tempoe doeloe. Jalan menuju desa Tenganan seakan menjadi lorong waktu yang membawa saya dari peradaban kekinian (Candi Dasa) ke masa lalu (Tenganan).


Upacara di pura dimulai dengan pemuka adat yang memanjatkan doa. Setelah selesai, tumpeng pun dihaturkan yang dilanjutkan dengan menghaturkan babi guling. Setelah itu barulah setiap orang menghaturkan sesajen masing-masing yang mereka bawa dari atas bukit. Ritual kemudian diakhiri dengan persembahyangan bersama. Uniknya, yang melakukan persembahyangan ini hanyalah kaum perempuan. Sedangkan laki-laki melakukan kegiatan di Bale Agung.

Comments