Ubud Masa Kini


Mendengar kata Ubud, yang terlintas di benak setiap orang pastilah suasana yang nyaman, damai, alam yang masih asri berpadu dengan sawah yang menghijau, hingga budaya dan tradisi masyarakat yang masih begitu kental. Berwisata ke Ubud seperti halnya berada di taman surga. Yups, itulah keadaan di Ubud setidaknya beberapa dekade lalu sebelum pariwisata massal booming seperti saat ini. Lalu apakah Ubud kini telah sepenuhnya berubah dari citra yang telah dikenal oleh masyarakat dunia?

Kearifan lokal dan budaya serta tradisi masyarakat Ubud memang tidak terlihat berubah secara signifikan. Masyarakat Ubud masih melaksanakan budaya Bali yang adi luhung dengan kearifan lokal (Dresta)nya. Sebut saja Ngaben yang dilaksanakan di Puri Ubud, semua masih dilaksanakan  sesuai dengan “pakem” kerajaan.  Bahkan sekarang event ini menjadi salah satu atraksi budaya bagi wisatawan.  Intinya,  masalah budaya,  Ubud gak usah diragukanlah.

Lalu bagai mana dengan pariwisata?

Hingga saat ini Ubud masih menjadi kawasan favorite bagi wisatawan.  Berbagai fasilitas ada di sini.  Mulai dari resort super mewah,  hingga homestay dan warung-warung kecil. Jadi kalau berbicara segmen pasar,  Ubud ini sudah bisa dinikmati wisatawan dari berbagai kalangan. Hal ini justru menjadi bumerang bagi pariwisata Ubud. Lihatlah pusat kawasan Ubud saat ini (kawasan Puri Saren / Pasar Ubud). Kawasan ini berkembang begitu pesatnya tanpa ada perencanaan yang matang.


Lalu apa yang terjadi?

Semrawut! Kata itu mungkin bisa mewakili kondisi pusat kawasan Ubud saat ini. Selain kurangnya nilai estetika (apa lagi ini Ubud, a.k.a sebagai pusatnya seni di Bali) jalanannya pun selalu macet. Beberapa hari lalu, tepatnya Sabtu, 2 Juni 2018, saya dua kali diusir hanya untuk mendapatkan tempat parkir. Memang sih, dalam hal ini saya yang salah karena memang sudah ada tandanya. But why just me? Sedangkan pada kenyataannya banyak kendaraan yang terparkir di tempat itu. Entah saya yang lagi apes, atau yang parkir disana hanya orang-orang yang punya privilege. Saat ini saya mengendarai sepeda motor, oke lah masih bisa pindah-pindah cari tempat parkir. Lalu yang pakai mobil gimana?

Mungkin sudah saatnya pemerintah memikirkan untuk menjadikan kawasan ini khusus untuk pejalan kaki. Seperti halnya walking street di Thailand atau Harajuku di Jepang. Selain mengurangi kesan “semrawut” hal ini juga bisa mengurangi polusi baik udara maupun suara alias kebisingan. Sebagai kompensasinya, Ubud harus memiliki sentral parkir untuk menampung kendaraan orang-orang yang akan berjalan kaki di kawasan ini. Dengan begini, citra Ubud yan tenang dan nyaman masih tetap bisa dipertahankan.


Lalu apa problema Ubud hanya ada di pusat kawasan ini?

Sepertinya tidak. Ubud memiliki ancaman yang sangat besar berupa alih fungsi lahan.  Sawah yang dulu hijau membentang,  kini kian sempit berganti dengan hotel dan villa.  Tidak hanya di sekitar kawasan pusat Ubud,  tapi sudah sampai ke luar Ubud seperti Tegalalang. Layaknya oasis di tengah gurun,  demikianlah Ubud dengan segala kekayaannya. Yang kini menjadi pertanyaan adalah, sampai kapan Ubud akan bisa bertahan?

Comments